Kumpulan Landasan Teori, Definisi, Pengertian Bidang Pengetahuan Umum, Sosial, Ekonomi, Managemen, dan Akuntansi

Sunday, June 28, 2015

Makalah Lingkungan Hidup

Berikut ini contoh Makalah Lingkungan Hidup berjudul DAMPAK KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG DAN SOLUSI PENANGGULANGAN BANJIR AKIBAT KERUSAKANNYA

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS.

Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.

Diawal tahun 2015 yang lalu, banjir besar melanda kawasan Jakarta dan sekitarnya. Banjir tahunan kali ini nyaris menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta, Bekasi dan Tangerang; sehingga membuat warga setempat menderita. Permukiman, sekolah, perkantoran dan pusat perbelanjaan terendam; sarana dan prasarana transportasi, penerangan listrik, air bersih dan telepon seketika lumpuh serta wabah penyakit senantiasa mengancam kesehatan mereka. Situasi benar-benar mencekam dan tidak menentu beberapa waktu, membuat Gubernur menetapkan DKI Jakarta dalam kondisi darurat (Siaga I).

Berbagai argumen terlontar untuk menjelaskan sebab terjadinya banjir tersebut, mulai dari intensitas curah hujan yang sangat tinggi; rusaknya kawasan konversi dan konservasi lahan di Bogor, Puncak dan Cianjur (BOPUNJUR) sebagai akibat munculnya pembangunan vila, hotel dan restoran yang tidak terkendali; pelanggaran peruntukan lahan rawa-rawa menjadi kawasan permukiman, seperti perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK); reklamasi pantai utara (Pantura); tersendatnya proyek Banjir Kanal Timur sebagai bagian penting masterplan pengendalian banjir; kesemrawutan pengelolaan 13 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melewati Jakarta; pelanggaran tata ruang perkotaan; hingga akibat imbas perubahan ikllim global.

Terlepas dari berbagai pendapat tersebut diatas, banjir dipandang dari aspek ekologis adalah merupakan peristiwa fisik yang terjadi di dalam lingkungan hidup manusia. Antara manusia dan banjir terdapat hubungan yang erat. Banjir akan mempengaruhi kehidupan manusia, sedang manusia itu sendiri sedikit banyak mempunyai andil terhadap terjadinya banjir. Sehingga dapat dikatakan bahwa banjir dan manusia sesungguhnya mempunyai ikatan ekologis dan suatu saat banjir dan manusia itu akan membentuk suatu ekosistem. Ikatan batin (timbal balik) tersebut senantiasa mengarah kepada bentuk keseimbangan dan inilah yang biasa disebut sebagai keseimbangan ekosistem.

Salah satu masalah lingkungan yang menjadi problem utama di DKI Jakarta sampai saat ini adalah pencemaran lingkungan perairan sungai. Hasil penelitian dan pemantauan berbagai perguruan tinggi, instansi terkait dan masyarakat peduli lingkungan (LSM); menunjukkan bahwa pencemaran di sejumlah 13 sungai beserta anak sungainya yang membelah Ibukota ini ternyata telah melampaui batas ambang dengan kandungan limbah semakin tinggi ke arah hilir dan muara. Kandungan limbah yang berasal dari buangan limbah industri dan rumah tangga ini lambat laun mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Pendangkalan sering menimbulkan banjir karena kemampuan (daya tampung) sungai untuk mengalirkan air hujan ke laut mulai berkurang. Jadi ada korelasi antara pencemaran lingkungan sungai dengan banjir.

Perumusan Masalah
Berbagai upaya pengendalian banjir telah dilakukan sejak jaman Belanda hingga saat ini ketika Jakarta dipimpin Gubernur Basuki Tjahaya Purnama. Belanda di tahun 1922 telah membangun Banjir Kanal Barat (BKB) akibat banjir besaryang terjadi di tahun 1918. Sementara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan baru saja menyelesaikan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) namun pembangunan kanal-kanal untuk menanggulangi banjir di Jakarta terbukti gagal karena banjir masih saja terus terjadi.
Untuk itu diperlukan suatu upaya nyata yang dapat menjadi solusi untuk menanggulangi banjir di Ibukota Jakarta. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian tentang, “bagaimana dampak kerusakan Daerah Aliran Sungai Ciliwung dan solusi penanggulangan banjir akibat kerusakan tersebut?”.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari penelitian ini adalah melakukan analisis dampak kerusakan Daerah Aliran Sungai Ciliwung dan solusi penanggulangan banjir akibat kerusakan tersebut. Untuk menjawab tujuan tersebut maka tujuan spesifik tulisan ini adalah :
1. Mengetahui salah satu faktor penyebab banjir yang senantiasa melanda DKI Jakarta dan sekitarnya.
2. Mengidentifikasi sumber pencemaran lingkungan sungai.
3. Memberikan alternatif solusi pengendalian dan pengelolaan banjir di DKI Jakarta


TINJAUAN PUSTAKA 
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”. Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographiC area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”.

Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.

Suatu DAS dapat dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan pembangunan misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman, pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat produksi, baik produksi pada masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Karena itu upaya untuk mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk kepentingan menjaga kemapuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir, longsor, kekeringan dan lain-lain.

Dalam menganalisa kinerja suatu DAS, kita tidak hanya melihat kinerja masing-masing komponen/aktifitas pembangunan yang ada di dalam DAS, misalnya mengukur produksi/produktifitas sektor pertanian saja atau produksi hasil hutan kayu saja. Kita harus melihat keseluruhan komponen yang ada, baik output yang bersifat positif (produksi) maupun dampak negatif.

Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut :
(1) Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.
(2) Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakan yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi : (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities).
(3) Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para actor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.
Makalah Lingkungan Hidup


PEMBAHASAN
Sejarah perkembangan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan hubungan manusia dengan alam termasuk hubungan manusia dengan sungai. Tengok sejarah peradaban Mesir yang termashur, tidak bisa dilepaskan dari aliran Sungai Nil. Demikian dengan Sungai Eufrat dan Tigris yang menjadi pusat perkembangan peradaban Mesopotamia. Mesopotamia yang sangat terkenal itu memiliki arti ‘di antara sungai-sungai’. Sejarah perkembangan masyarakat modern-pun tidak bisa dilepaskan dari adanya sungai. Seperti masyarakat India yang tidak hanya menjadikan sungai sebagai sumber air, tapi lebih dari itu sungai merupakan sumber kehidupan yang harus dihormati bahkan dijaga kesuciannya.
.
Sungai juga bisa menjadi alat kontrol kekuasaan yang memiliki dimensi politik yang kuat. Seorang sejarawan dari Jerman, Karl A. Wittfogel, dalam bukunya Oriental Despotism: A Comparative Study of Total Power (1957) menggambarkan adanya hubungan yang erat antara kekuasaan dengan kontrol atas penguasaan sungai. Penelitian yang dilakukan Wittfogel di China menunjukkan pada masa itu pemerintah kerajaan China mengontrol masyarakat melalui pengelolaan sungai, dengan membangun pola pertanian yang memiliki ketergantungan pada sistem irigasi yang kompleks terutama model irigasi dengan membangun bendungan-bendungan besar. Masyarakat dipaksa mengikuti model-model ekonomi politik yang ditawarkan penguasa jika ingin mendapatkan akses irigasi, sehingga sebagian besar petani tidak memiliki kontrol atas pilihan ekonomi dan politik mereka sendiri.

Bukan saja Negara lain yang memiliki sejarah panjang perkembangan hubungan sungai dengan manusia, tetapi juga Bangsa Indonesia. Terdapat banyak cerita yang menghubungkan kehidupan masyarakat dengan keberadaan sungai di Indonesia, termasuk Sungai Ciliwung. Restu Gunawan tanpa ragu menyatakan Sungai Ciliwung merupakan pusat peradaban. Kata Sungai Ciliwung berasal dari kata Ci yang berarti sungai dan Haliwung (dalam bahasa Sunda) yang berarti “keruh”. Pada awal keberadaan manusia yang tinggal di sekitar Ciliwung, masyarakat menjadikan Sungai Ciliwung sebagai pusat pertemuan penduduk yang tinggal di pinggiran seperti di Cikeas dan Cibinong dengan masyarakat yang tinggal di atas yaitu Condet melalui sarana pelayaran. Sungai Ciliwung sebagai media pelayaran bisa dilihat dari keberadaan Sunda Kelapa yang tidak berada persis di tepian pantai, tetapi masuk muara Sungai Ciliwung. Kondisi ini mendorong Pelabuhan Sunda Kelapa berkembang menjadi pusat kegiatan  ekonomi sekaligus pusat pemerintahan yang dibangun dan dikembangkan Belanda sejak tahun 1600-an melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sungai Ciliwung pada saat itu memungkinkan dimasuki sepuluh kapal dagang yang berkapasitas 100 ton dengan kondisi air Sungai Ciliwung yang mengalir bebas tidak berlumpur dan tenang (Restu Gunawan, 2010; 33).

Sungai Ciliwung juga berkembang menjadi sumber pengairan bagi pertanian di kawasan Jawa Barat dan Jakarta. Pembangunan Bendung Katulampa yang berada di aliran Sungai Ciliwung sebagai bangunan peninggi air (weir) juga memiliki fungsi irigasi yang dialirkan ke Oosterslokan (selokan timur). Pada tahun 1776, Belanda juga menggali kanal di bawah Bogor yang diambil dari Sungai Cisadane untuk dialirkan ke Sungai Ciliwung. Kanal ini kemudian dikenal dengan Westerslokan. Westerslokan mengaliri lahan persawahan di Cilebut, Citayam, Depok, Pondok Cina, Tanjung Barat, dan Pondok Labu. Sementara Oosterslokan mengairi persawahan Cibinong, Tapos, Cilangkap, Cimanggis, Cilosong, Tanjung Timur, Kampung Makasar, Cililitan, Cawang, Kemayoran, Gedong Rubuh, dan Kelapa Gading (Restu Gunawan, 2010; 20 – 23).

Saat ini Sungai Ciliwung sudah tidak lagi digunakan sebagai sarana transportasi, meskipun ide-ide untuk kembali menggunakan Sungai Ciliwung sebagai sarana transportasi air sempat muncul di tahun 2007. Namun ide-ide tersebut menemui banyak kendala dengan tingginya sedimentasi di sepanjang aliran Sungai Ciliwung. Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sedimentasi Sungai Ciliwung sesungguhnya telah terjadi sejak masa Belanda ketika Belanda membangun perkebunan teh di kawasan Puncak. Kerusakan Sungai Ciliwung diperparah dengan meletusnya Gunung Salak yang terjadi di tahun 1699 dan pendirian pabrik-pabrik gula di Senen dan Tanah Abang. Sekarang kerusakan Sungai Ciliwung bukan saja karena keberadaan kebun teh, tetapi juga pengelolaan sungai yang belum terintegratif antara hulu dengan hilir sungai.

Ciliwung adalah sungai yang mengalirkan air hujan berlebih dari daerah aliran Sungai Ciliwung seluas 30.000 hektar. Di masa lalu aliran sungai ini masih terkendali, aman, memberikan kenyamanan, baik sebagai sumber air mineral, mencuci, mandi, air irigasi, industri, maupun untuk penggelontoran sampah-sampah Jakarta. Aliran Ciliwung jarang meresahkan, mengganggu kenyamanan, menghilangkan harta benda, apalagi menghilangkan nyawa.

Namun akhir-akhir ini, paling tidak 5-10 tahun terakhir, aliran Ciliwung sudah berkali-kali memberikan ketidaknyamanan, tidak mencukupi kebutuhan air minum, mandi dan mencuci pada musim kemarau. Di musim hujan alirannya menggenangi dan membanjiri banyak lokasi, bahkan menghilangkan harta benda dan nyawa beberapa warga Jakarta yang bertempat tinggal di sepanjang flood plam sungai itu.

Tampaknya frekuensi dan intensitas ketidaknyamanan yang diberikan Sungai Ciliwung semakin tinggi. Kalau dahulu ketidaknyamanan tersebut hanya dialami oleh beberapa tempat saja dan paling paling 5-10 tahun sekali, maka kini genangan dan banjir sudah lebih luas cakupannya. Genangan dan banjir semakin tinggi serta frekuensinya sudah hampir dua atau tiga tahun sekali atau sekali setiap tahun dan bahkan dalam setahun pun dapat terjadi beberapa kali.

Rentang waktu kekurangan air minum pada musim kemarau atau kebanjiran pada musim hujan pun sudah semakin panjang. Hal inilah yang menggiring kita untuk mengatakan bahwa Ciliwung sudah semakin liar tidak terkendali.

Liarnya aliran Ciliwung disebabkan oleh kita semua, warga yang hidup di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung termasuk pemerintah (pemerintah daerah dan pusat).

Namun, kalau mau diurut siapa yang memberikan kontribusi yang paling besar terhadap terjadinya banjir tersebut, maka penilaiannya harus dikaitkan dengan faktor-faktor yang menyebabkan banjir. Kalau faktor curah hujan, jenis tanah, dan topografi wilayah adalah faktor penyebab banjir yang kita terima sebagaimana adanya tanpa bisa menolak. Maka, faktor penggunaan lahan dan pengelolaan lahan adalah faktor penyebab utama yang membuat kontribusi masing-masing warga menjadi berbeda terhadap terjadinya banjir.

Berdasarkan penggunaan lahan tahun 1996, ternyata daerah permukiman (11.590 ha) merupakan penggunaan lahan terluas di DAS Ciliwung dan diikuti secara berurutan oleh pertanian tegalan (7.770 ha), kebun campuran (5.730), hutan (5.094 ha), sawah (1.665 ha), dan penggunaan lainnya (724 ha).
Karena setiap tipe penggunaan lahan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menginfiltrasikan (meresapkan) air hujan ke dalam tanah, maka jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah dan yang mengalir di atas permukaan tanah akan berbeda pada setiap tipe penggunaan lahan. Proporsi air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah pada setiap penggunaan lahan dikenal dengan istilah koefisien aliran permukaan atau koefisien limpasan.

Besarnya koefisien aliran permukaan itu memang masih dipengaruhi oleh tipe tanah dan pengelolaan (manajemen) lahan. Dengan adanya perbedaan manajemen lahan dan permukaan lahan, maka nilai koefisien limpasan di daerah permukiman berkisar dari 25-40 persen di pinggiran kota dan pedesaan, 35-70 persen di perkotaan, 50-90 persen di daerah industri, 50-95 persen di daerah perkotaan dan perdagangan. Di daerah pertanian besarnya koefisien limpasan berkisar 21-65 persen, daerah penggembalaan 17-23 persen, dan di daerah hutan adalah 2-15 persen.

Berdasarkan luas dan nilai koefisien limpasan daerah permukiman adalah yang terbesar, maka kontribusi daerah permukimanlah (desa, kota, perdagangan, dan industri) yang terbesar mengakibatkan banjir Ciliwung, disusul oleh daerah pertanian (tegalan dan kebun campuran).

Kalau DAS Ciliwung dibagi tiga, menjadi bagian hulu mulai dari Gunung Pangrango sampai Stasiun Katulampa, bagian tengah mulai dari Katulampa sampai Stasiun Ratujaya (Depok), dan bagian hilir dari Ratujaya sampai Stasiun Manggarai, ternyata kontribusi bagian tengah adalah yang terbesar pada banjir Jakarta.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mahasiswa PS DAS-IPB melalui simulasi model, dengan data penggunaan lahan tahun 1996 dan curah hujan 88 mm pada 11 Februari 1996, maka debit Stasiun Katulampa hanya 205 m3 debit di Stasiun Ratujaya 320 m3dan debit diStasiunManggarai383m3.
Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi bagian hulu hanya 33 persen, tengah 35 persen, dan hilir 32 persen. Proyeksi penggunaan lahan sampai tahun 2012 yang didasarkan pada trend perubahan 1990-1996 menunjukkan bahwa daerah permukiman akan meningkat menjadi 48 persen, tetapi kebun campuran dan tegalan menurun menjadi hanya 12 persen dan 17 persen. Hal ini akan meningkatkan koefisien limpasan meningkat menjadi 48 persen di bagian hulu, 60 persen di bagian tengah, dan 65 persen di bagian hilir.

Konsekuensi selanjutnya adalah peningkatan debit aliran sungai menjadi 280 m3.Perubahan penggunaan lahan dari pertanian (tegalan dan kebun campuran) menjadi permukiman di bagian tengah dan hilir DAS Ciliwung tampaknya lebih cepat daripada proyeksi tahun 2012 karena besarnya tekanan penduduk. Hal ini akan mengakibatkan kontribusi bagian tengah DAS terhadap banjir Jakarta semakin besar. Apabila tidak ada inisiatif mengatasi perubahan itu, maka aliran Ciliwung akan menjadi lebih tidak terkendali dan bahkan dapat menenggelamkan Jakarta.

Untuk menghindarkan Jakarta dari amukan banjir yang lebih dahsyat, maka Sungai Ciliwung harus dijinakkan dengan debit aliran di Stasiun Ratujaya (Depok) tidak melebihi 350 m3. Apabila penjinakan dilakukan (seperti menjinakkan hewan dengan memasukkannya ke dalam kerangkeng atau borgol) melalui pembangunan tanggul atau menggali saluran tambahan, memang masalahnya akan berkurang untuk sesaat. Namun, apabila ada energi baru, yaitu curah hujan yang lebih tinggi dengan periode ulang lebih lama, maka bahaya dan kerugian akan lebih besar karena kapasitas tampung akan terlewati dan daerah sekitar sudah terbangun.

Oleh sebab itu, penjinakannya harus lebih konseptual, yaitu mengatasi akar persoalannya dan akar penyebabnya. Penyebab terjadinya banjir adalah menurunnya infiltrasi yang mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan serta memperlakukannya tidak sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan.

Oleh sebab itu, penggunaan lahan setiap jengkal lahan di dalam DAS Ciliwung harus di tata agar sesuai dengan kemampuannya. Kemudian pengelolaan dan perlakuan pada lahan tersebut harus juga sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan. Kedua hal ini harus dilakukan secara terus-menerus. Karena penggunaan lahan yang paling besar konstribusinya terhadap banjir adalah permukiman dan pertanian, maka dalam penjinakan aliran Ciliwung harus di fokuskan pada penataan dan pengelolaan permukiman dan pertanian. Koefisien limpasan di kedua penggunaan lahan ini harus ditekan menjadi serendah mungkin.

Di daerah permukiman penurunan koefisien limpasan dapat dilakukan dengan membuat pedoman pembangunan rumah dan menerapkannya agar air hujan di setiap rumah/bangunan tidak dialirkan ke selokan, tetapi diresap ke dalam tanah atau ke dalam sumur resapan. Di daerah pertanian penurunan koefisien limpasan air dapat dilakukan dengan menerapkan tindakan konservasi tanah yang memadai dan cocok untuk setiap usaha tani.

Pilihan tindakan konservasi tanah tersebut sangat bergantung pada jenis tanah, jenis usaha pertanian, dan kemiringan lereng lahan. Pedoman pemilihan tindakan dan teknik konservasi tanah tersebut agar cocok dan memadai bagi setiap usaha tani harus diadakan oleh pemerintah.

Tindakan dan teknik konservasi tanah yang sudah banyak di terapkan antara lain pengolahan tanah konservasi, penanaman dan pengelolaan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, rorak, sengkedan, teras gulud, teras bangku, pemakaian mulsa sisa tanaman, penggunaan pupuk hijau, pupuk kandang, pupuk buatan, penanaman tanaman penutup tanah, tanaman pagar, dan penanaman pohon.

Di samping itu, penurunan koefisien limpasan seluruh DAS dapat juga dilakukan dengan pembangunan check dam terutama di bagian hulu dan tengah DAS serta situ-situ di bagian tengah dan hilir DAS.

Untuk penataan penggunaan lahan, pengaturan pengelolaan lahan, penerapan tindakan dan teknik konservasi tanah, serta pembangunan check dam dan situ-situ diperlukan kerja sama Pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kerja sama antara hulu dan hilir dalam penanggulangan banjir atau pelestarian sumber daya air memang sangat diperlukan dan merupakan suatu keharusan.

Idealnya penanggulangan banjir dan pelestarian sumber daya air harus direncanakan, dilaksanakan, dipantau, dan dievaluasi oleh suatu badan dengan prinsip satu sungai satu perencanaan (one river one plan).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, maka simpulan dari penelitian ini adalah :
1. Banjir di Daerah Khusus Ibukota Jakarta disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan Daerah Aliran Sungai Ciliwung sehingga mengurangi daerah resapan air yang berada di sekitar sungai Ciliwung.
2. Sumber pencemaran di Daerah Aliran Sungai Ciliwung disebabkan oleh faktor eksploitasi berlebihan manusia, khususnya masyarakat yang berada pada Daerah Aliran Sungai Ciliwung terhadap sungai Ciliwung, akibatnya limbah rumah tangga mencemari Sungai Ciliwung.
3. Pemerintah abai terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Pengabaian ini bisa dilihat dari buruknya kualitas pelayanan kesehatan yang ada serta kualitas sanitasi yang tidak memenuhi standard kesehatan. Sering kali pemerintah dengan sengaja melakukan pengabaian terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dengan alasan pemukiman di bantaran sungai merupakan pemukiman illegal, sehingga tidak berhak mendapat layanan yang semestinya dari pemerintah. Sering kali juga pengabaian dilakukan agar warga tidak betah tinggal di daerah tersebut dan dengan inisiatif sendiri pindah ke lokasi lain.

Saran
Dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung, penulis dapat memberikan saran :
1. Untuk penataan penggunaan lahan, pengaturan pengelolaan lahan, penerapan tindakan dan teknik konservasi tanah, serta pembangunan check dam dan situ-situ diperlukan kerja sama Pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kerja sama antara hulu dan hilir dalam penanggulangan banjir atau pelestarian sumber daya air memang sangat diperlukan dan merupakan suatu keharusan.
2. Penggunaan lahan setiap jengkal lahan di dalam DAS Ciliwung harus di tata agar sesuai dengan kemampuannya. Kemudian pengelolaan dan perlakuan pada lahan tersebut harus juga sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan.
3. Penanggulangan banjir dan pelestarian sumber daya air harus direncanakan, dilaksanakan, dipantau, dan dievaluasi oleh suatu badan dengan prinsip satu sungai satu perencanaan (one river one plan).

DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Edie, 2008. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Das) Terpadu. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, Jakarta.
Herlambang, Arie. 2006. Pencemaran Air dan Strategi Penganggulangannya. JAI Vol 2, No 1,BPPT. Jakarta.
Mawardi, Ikwanuddin. 2010. Kerusakan Daerah Aliran Sungai dan Penurunan Daya Dukung SumberDaya Air di Pulai Jawa serta Upaya Penanganannya, J. Hidrosfir Indonesia Vol 5 No 2 hal 1-11, Jakarta.
Nikmah, Siti Khoirun, 2010, Pengabaian Pemerintah Terhadap Eksistensi Penduduk Pinggir Sungai: Wajah Pengelolaan Sungai di Indonesia. International NGO Forum on Indonesian Development, Jakarta
Susmarkanto. 2002. Pencemaran Lingkungan Perairan Sungai Salah Satu Faktor Penyebab Banjir Di Jakarta. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.3, No. 1, Jakarta.

Lihat juga contoh makalah lainnya.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Makalah Lingkungan Hidup

0 comments:

Post a Comment